Kamis, 17 September 2015

Menjadi Manusia


Sri Paus bertitah, agar setiap gereja dan umat katolik di manapun membantu dan memberikan perlindungan kepada pengungsi Syiria. Kita terkejut, bukan karena kebaikan Sri Paus, tapi kesadaran bahwa di manakah kita di tengah bencana kemanusiaan akbar ini?

Sri Paus, ah Paus Fransiskus maksud saya, mengambil peran yang telah lama dilupakan, menjadi nalar dan akal sehat ketika sebuah bencana terjadi. Ia memerintahkan, dengan otoritas keagamaan yang ia miliki, untuk membantu korban perang Syiria, Iraq dan Afganistan. Apapun keyakinannya, demikian mungkin perintah Sri Paus, setiap manusia berhak mendapatkan rasa aman dan jaminan keselamatan.

Di sosial media beredar berbagai foto tentang korban perang timur tengah, banjir pengungsi berbulan lamanya terjadi dan mulai menjadi perhatian ketika foto bayi Aylan muncul dan beredar. Sebelumnya di mana posisi kita? Ah tapi itu tidak penting, siapapun yang waras dan memiliki hati nurani semestinya bisa bersikap, apa yang penting saat ini, saling menyalahkan atau menawarkan bantuan serta solusi.

Sri Paus sudah bersikap dan tiap-tiap gereja di seluruh dunia mematuhi ini, umat umat terbaik katolik telah bergerak, mereka memberi bantuan, membuka hati, membuka gereja untuk menjadi rumah sementara. Negara negara kini mulai membuka pintunya Jerman, Australia, bahkan juga Amerika. Mereka meneladani Lebanon, Jordania, Turki, Iraq dan Mesir.

Turki telah menjadi tuan rumah yang cukup baik, mereka menampung lebih dari 1,8 juta pengungsi perang. Sementara Lebanon, Iraq dan Mesir mesti dipuji, mereka bukan negara yang kaya juga sedang stabil secara politik, ada gejolak, tapi kemanusiaan warganya masih membuka pintu bagi pengungsi yang hendak mencari keselamatan, lantas posisi kita di mana?

Tidak semua orang memiliki hati untuk peduli kepada bencana. Petra Laszlo misalnya, seorang jurnalis perempuan yang bekerja untuk stasiun televisi Nemzeti Televízió, tidak menunjukan kepeduliannya. Pada sebuah rekaman ia tampak sedang menjegal seorang pengungsi yang membawa anak dalam gendongannya. Tidak hanya itu ia juga menendang gadis kecil yang lari dari aparat Hungaria.

Selalu ada pihak yang berkomentar miring, memaki, membenci, dan mencari ruang untuk kebencian. Ketika pengungsi dari Afganistan yang bermazhab syiah terdampar di Indonesia, muncul isu kebencian yang menuduh mereka menyebarkan syiah. Para pengungsi perang inipun demikian, mereka dituduh hendak mencari hidup nyaman dari sistem sosial negara negara eropa, tanpa mengindahkan fakta bahwa mereka terpaksa pergi dari tanah kelahiran karena perang. Tapi apakah benar tidak ada kebaikan di dunia ini?

Di Macedonia, seorang perempuan bernama Gabriela Andreevska menjadi orang yang berada di garis depan dalam membantu para pengungsi. Ia memberi makanan, minuman, buah, coklat dan informasi kepada para pengungsi agar bisa mencari suaka. Ia membekali para pengungsi dengan pengetahuan yang akan menyelamatkan mereka dari bencana perang. Gabriela merasa, setiap orang berhak mencari suaka dan melakukan perjalanan untuk menyelamatkan nyawanya. Apapun keyakinannya, apapun agamanya, mereka berhak mendapatkan rasa aman. Lantas di manakah kita?

Di Serbia bapak polisi Rexhep Arifi menemukan seorang pengungsi yang kelelahan, ia tak sanggup lagi berdiri. Di sampingnya seorang anak menangis, Rexhep memeluk anak itu, ia menggendongnya dan bermain bersamanya. Si bocah kemudian tertawa dan dunia mengabadikan itu. “Dia adalah polisi pertama yang tidak memperlakukan kami seperti binatang,” kata seorang pengungsi. Rexhep berkata “Apapun negaranya, apapun agamanya, seorang anak-anak bukanlah pihak yang mesti disalahkan.”

Para pengungsi ini menuju negara-negara barat. Mereka mencari suaka dan rasa aman justru di negara negara yang dikuasai oleh orang kafir. Tentu tidak semua pengungsi perang ini muslim, tapi sebagian besar dari mereka tentu adalah penganut ajaran islam. Sebenarnya kita perlu bertanya, mengapa mereka lebih memilih mencari perlindungan kepada orang-orang yang jelas kafir ketimbang mereka yang muslim?

UNHCR merilis hampir tidak ada pengungsi korban perang Syiria, Afganistan dan Iraq yang tinggal di Kuwait, Qatar, Uni Arab Emirat dan Arab Saudi. Tapi bisakah kita memverifikasi ini? Belakangan beredar kabar bahwa negara negara islam dan kaya itu telah memberikan donasi yang besar untuk membantu para pengungsi. Tapi bisakah kita memverifikasi ini? Yang jelas, banjir pengungsi tidak sedang terjadi hari ini saja, ia telah terjadi berbulan lalu ketika kita sedang berdebat apakah ISIS itu islam atau bukan.

Pengungsi-pengungsi dari Syiria, Afganistan dan Iraq ini sempat tinggal di Turki. Dari Turki mereka lantas melanjutkan perjalanan menggunakan perahu menuju eropa. Kenapa tidak tinggal di Turki? Bukankah Erdogan dipuji sebagai seorang kalifah yang memuliakan islam? 1.8 Juta pengungsi yang tinggal tentu bukan angka yang sedikit, ia besar, dan pemerintahan manapun saya kira akan kesulitan jika mesti memberi makan setiap pengungsi yang ada. Ini bukan soal kilafah, ini sesederhana pilihan masuk akal.

Apakah Turki hebat karena menampung 1.8 juta pengungsi? Mari kita buat perbandingan Ilmfeed merilis data bahwa pengungsi perang yang ada di Turki sebesar 1.8 juta jiwa, sementara Lebanon sebesar 1.2 Juta Jiwa dan Jordan 628 ribuan orang. Luas negara Lebanon barangkali tidak sampai sepersepuluh luas Turki, Lebanon itu juga  bukanlah negara kaya tidak seperti Turki yang belakangan banyak dipuja puji pendukung Erdogan di Indonesia. Sedang Jordan? Mereka adalah veteran penampung pengungsian, jumlah warga Palestina di Negara ini jauh lebih banyak daripada warga Palestina di negara asalnya. Tapi tentu ini tidak penting, yang penting adalah bagaimana menyelamatkan mereka yang sedang menderita bukan?

Sri Paus bertitah. Bahwa setiap gereja, setiap biara dan setiap umat katolik yang mampu, untuk mengambil dan membantu satu keluarga pengungsi. Ia juga membuka pintu vatikan kepada para pengungsi. Sri Paus tidak bertitah bahwa mereka hanya akan membantu keluarga katolik saja, siapapun, jika ia pengungsi mesti dibantu. Kebaikan ini seharusnya menampar akal sehat kita.

Lantas posisi kita di mana? Oh barangkali posisi kita di sini, berdiri dan menghembuskan kabar, terjadi kristenisasi. Karena, bukankah hanya itu yang bisa kita lakukan? 

Senin, 14 September 2015

Perempuan Bikini dan Femen.


Semalam saya berdebat agak panjang dengan seseorang perihal tulisan saya yang mengkritik lingkar studi ciputat. Dalam perdebatan itu, si pria mengatakan ada standar ganda dalam tulisan saya. Jika kelompok perempuan Femen bebas telanjang dada memprotes sesuatu, kok mahasiswa ciputat tadi tak boleh menggunakan beha untuk melakukan protes.

Perdebatan itu menemui jalan buntu, karena frekuensi berpikir kami berbeda. Saya mengatakan bahwa gerakan Femen punya konteks politik, sosial historis yang sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan lingkar studi ciputat. Femen juga memiliki garis idiologi yang sangat radikal tapi punya akar intelektual, yang anda boleh tak setuju, dalam perihal perjuangan perempuan.

Sebelum menghakimi Femen, saya menawarkan orang itu untuk melakukan riset, tentang akar historis politis dan sosial dari gerakan Femen. Karena jika hanya menilai gerakan ini berdasarkan foto dan teks teks yang mereka bawa tentu akan ada bias atribusi, bias pemahaman dan juga bias tafsir. Mengapa femen itu ada? Apa yang mereka perjuangkan? Dan bagaimana cara mereka berjuang? Tiga pertanyaan ini sebenarnya bisa memberikan kita pemahaman awal tentang Femen dan yang paling penting anda tidak harus setuju.

Saya mengkritisi tendensi misoginis yang dilakukan oleh Lingkar Studi Ciputat terhadap perempuan. Konteksnya adalah penggunaan atiribut beha untuk menunjukan bahwa pemerintah hari ini lemah dan penakut. Misoginisme secara sederhana adalah tindakan yang secara sadar merendahkan posisi perempuan. Menggunakan atribut pakaian dalam untuk menyebut pemerintah hari ini seperti perempuan lemah, saya kira, adalah bentuk misoginisme.

Dalam perdebatan semalam juga muncul persoalan perihal bikini yang membuat saya sadar, bahwa, masih ada orang orang yang masih menggunakan sentimen moral-agama utuk melakukan penghakiman. Bahwa perempuan yang memakai bikini adalah perempuan nakal, yang mengumbar auratnya dan tidak tahu malu. Logika inilah yang kemudian melahirkan rape culture semacam "Ya gimana ga diperkosa wong teteknya kemana mana," atau "Ya pantes diperkosa wong pakai celana gemes," seolah secara naluriah tiap lelaki adalah mahluk lemah yang tunduk pada naluri libidonya.

Logika kusut yang senafas sebangun dengan logika pemerkosa ini yang saya kira mengerikan. Perempuan masih dianggap sub manusia, ia tidak punya ruang ekspresi berpendapat dan dianggap subordinat. Nilai nilai dan norma yang ada disusun oleh lelaki untuk kemudian dipaksakan dipakai serta diatribusikan kepada perempuan. Seperti perempuan itu harus lemah lembut, menutup diri, pintar masak, gak usah tinggi sekolah, suaranya gak boleh keras dan sebagainya dan sebagainya.

Perempuan semestinya memiliki kebebasan untuk memakai apa yang ia mau, berpikir apa yang ia anggap benar, dan melakukan apapun yang ia sanggup capai. Semua boleh dilakukan dengan bebas dengan batasan yang bisa kita sepakati bersama, seperti consent dan hak asasi manusia. Memakai bikini atau tidak, memakai jilbab atau tidak adalah hak individu, pilihan yang memiliki resikonya masing masing.

Seorang perempuan tak boleh dipaksa memakai jilbab jika ia tidak ingin, sama juga dengan seorang perempuan tak boleh dipaksa melepas jilbab yang ia kenakan. Moralitas memiliki keterbatasan, tapi kemanusiaan saya kira tidak. Hak asasi manusia menjamin bahwa setiap orang berhak menjalani keyakinan agamanya. Melarang perempuan berjilbab tak bisa dibenarkan, bahkan jika ia menggunakan argumen penindasan keyakinan, kalau ia pilihan sadar mengapa dilarang?

Beberapa waktu lalu saya berjumpa dengan kyai Husein Muhammad dari Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Cirebon. Dalam perbincangan bersamanya saya belajar tentang bagaimana seorang muslim berpihak dan berpikir dalam kerangka gender. Kyai Husein berkata bahwa sebuah kota, juga negara, baru bisa dianggap sejahtera dan maju apabila perempuannya bisa keluar rumah pada malam hari tanpa rasa takut akan diperkosa.

Kyai Husein juga bicara tentang gender mainstreaming, yaitu pemikiran yang menempatkan pemahaman gender dalam tiap pengambilan keputusan baik kebijakan publik maupun ruang lingkup personal seperti dalam keluarga. Ia bilang bahwa negara akan maju dan menjadi baik apabila dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan publik, perempuan diajak serta berpikir alih alih menjadi objek kebijakan.

Perempuan semestinya tidak ditempatkan sebagai warga negara kelas dua, atau kelompok subordinat atau menjadi objek kekang norma. Mereka selayaknya menjadi rekan setara dalam berpikir, bertindak dan bekerja. Selama hidup mereka masih didikte melalui peraturan dan standar kepatutat lelaki, mereka akan tetap jadi kelompok yang rentan dilecehkan dan ditindas.

Pada satu titik saya percaya perempuan tidak harus selalu dibela, mereka bisa membela dirinya sendiri. Namun ada beberapa hal yang terus menerus dilakukan untuk mencapai pemahaman bersama tentang kesadaraan gender. Beberapa orang yang saya temui enggan belajar tentang kesetaraan gender atau feminisme karena stigma negatif yang melekat. Misalnya feminis pasti perempuan, feminis benci laki-laiki, lelaki yang belajar feminis cenderung mencari-cari kesalahan, anti agama, anti pernikahan dan yang paling buruk menjadi feminis artinya menolak agama.

Kesalahpahaman ini muncul karena bias media terhadap pemberitaan perjuangan perempuan. Pada pemberitaan protes kelompok Femen yang terjadi di Prancis kemarin misalnya. Media lebih menekankan pembahasan “Telanjang di acara keagamaan,” ketimbang membahas “Mengapa Femen melakukan protes di acara yang dibuat oleh kelompok islam,”. Bias media yang diperparah dengan tendensi misoginis membuat perjuangan perempuan mengalami reduksi dan yang lebih buruk sentimen negatif.

Tidak semua mereka yang mengadvokasi kesetaraan gender pasti feminis, jika dimaknai membela kelompok perempuan saja. Kesetaraan gender berusaha mengakomodasi kebutuhan dan juga memperjuangkan hak setiap gender yang ada. Tanggung jawab untuk memberikan jaminan sosial, hak asasi manusia dan kebutuhan bersama semestinya bukan tanggung jawab satu jenis kelamin. Ia merupakan masalah bersama yang semestinya dihadapi dan ditangani bersama.

Dalam satu studi yang dilakukan di Swedia menunjukan bahwa dengan melakukan perumusan kebijakan berdasarkan kesadaran Gender, pemerintah bisa membuat kebijakan dengan prioritas yang memenuhi tiga kategori seperti hak, efisiensi dan pelayanan prima. Melalui metode yang disebut dengan gender mainstreaming, pemerintah Swedia menjamin bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintah akan memberikan tiap warga negara akan layanan sesuai dengan kebutuhan individual, tanpa mengalami distorsi oleh prasangka, kebebalan dan stigma.

Kesetaraan gender semestinya juga berusaha mengadvokasi kelompok dengan pilihan ekspresi gender yang ada namun dipinggirkan keberadaannya di masyarakat. Kesetaraan gender dalam konteks ini mewujudkan ide kemanusiaan yang universal dalam menjamin hak setiap manusia apapun pilihan ekspresi gendernya, seperti kelompok transgender, androgyn, genderqueer, atau bahkan yang genderneutral. Sederhananya kesetaraan gender mestinya dipahami sebagai perjuangan hak asasi manusia yang utuh ketimbang memperjuangan hak satu jenis kelamin saja.