Sri Paus
bertitah, agar setiap gereja dan umat katolik di manapun membantu dan
memberikan perlindungan kepada pengungsi Syiria. Kita terkejut, bukan karena
kebaikan Sri Paus, tapi kesadaran bahwa di manakah kita di tengah bencana
kemanusiaan akbar ini?
Sri Paus,
ah Paus Fransiskus maksud saya, mengambil peran yang telah lama dilupakan,
menjadi nalar dan akal sehat ketika sebuah bencana terjadi. Ia memerintahkan,
dengan otoritas keagamaan yang ia miliki, untuk membantu korban perang Syiria,
Iraq dan Afganistan. Apapun keyakinannya, demikian mungkin perintah Sri Paus,
setiap manusia berhak mendapatkan rasa aman dan jaminan keselamatan.
Di sosial
media beredar berbagai foto tentang korban perang timur tengah, banjir pengungsi
berbulan lamanya terjadi dan mulai menjadi perhatian ketika foto bayi Aylan
muncul dan beredar. Sebelumnya di mana posisi kita? Ah tapi itu tidak penting,
siapapun yang waras dan memiliki hati nurani semestinya bisa bersikap, apa yang
penting saat ini, saling menyalahkan atau menawarkan bantuan serta solusi.
Sri Paus
sudah bersikap dan tiap-tiap gereja di seluruh dunia mematuhi ini, umat umat
terbaik katolik telah bergerak, mereka memberi bantuan, membuka hati, membuka
gereja untuk menjadi rumah sementara. Negara negara kini mulai membuka pintunya
Jerman, Australia, bahkan juga Amerika. Mereka meneladani Lebanon, Jordania,
Turki, Iraq dan Mesir.
Turki telah
menjadi tuan rumah yang cukup baik, mereka menampung lebih dari 1,8 juta
pengungsi perang. Sementara Lebanon, Iraq dan Mesir mesti dipuji, mereka bukan
negara yang kaya juga sedang stabil secara politik, ada gejolak, tapi
kemanusiaan warganya masih membuka pintu bagi pengungsi yang hendak mencari
keselamatan, lantas posisi kita di mana?
Tidak semua
orang memiliki hati untuk peduli kepada bencana. Petra Laszlo misalnya, seorang
jurnalis perempuan yang bekerja untuk stasiun televisi Nemzeti Televízió, tidak
menunjukan kepeduliannya. Pada sebuah rekaman ia tampak sedang menjegal seorang
pengungsi yang membawa anak dalam gendongannya. Tidak hanya itu ia juga
menendang gadis kecil yang lari dari aparat Hungaria.
Selalu ada
pihak yang berkomentar miring, memaki, membenci, dan mencari ruang untuk
kebencian. Ketika pengungsi dari Afganistan yang bermazhab syiah terdampar di
Indonesia, muncul isu kebencian yang menuduh mereka menyebarkan syiah. Para
pengungsi perang inipun demikian, mereka dituduh hendak mencari hidup nyaman
dari sistem sosial negara negara eropa, tanpa mengindahkan fakta bahwa mereka
terpaksa pergi dari tanah kelahiran karena perang. Tapi apakah benar tidak ada
kebaikan di dunia ini?
Di
Macedonia, seorang perempuan bernama Gabriela Andreevska menjadi orang yang
berada di garis depan dalam membantu para pengungsi. Ia memberi makanan,
minuman, buah, coklat dan informasi kepada para pengungsi agar bisa mencari
suaka. Ia membekali para pengungsi dengan pengetahuan yang akan menyelamatkan
mereka dari bencana perang. Gabriela merasa, setiap orang berhak mencari suaka
dan melakukan perjalanan untuk menyelamatkan nyawanya. Apapun keyakinannya,
apapun agamanya, mereka berhak mendapatkan rasa aman. Lantas di manakah kita?
Di Serbia
bapak polisi Rexhep Arifi menemukan seorang pengungsi yang kelelahan, ia tak
sanggup lagi berdiri. Di sampingnya seorang anak menangis, Rexhep memeluk anak
itu, ia menggendongnya dan bermain bersamanya. Si bocah kemudian tertawa dan
dunia mengabadikan itu. “Dia adalah polisi pertama yang tidak memperlakukan
kami seperti binatang,” kata seorang pengungsi. Rexhep berkata “Apapun negaranya,
apapun agamanya, seorang anak-anak bukanlah pihak yang mesti disalahkan.”
Para
pengungsi ini menuju negara-negara barat. Mereka mencari suaka dan rasa aman
justru di negara negara yang dikuasai oleh orang kafir. Tentu tidak semua
pengungsi perang ini muslim, tapi sebagian besar dari mereka tentu adalah
penganut ajaran islam. Sebenarnya kita perlu bertanya, mengapa mereka lebih
memilih mencari perlindungan kepada orang-orang yang jelas kafir ketimbang
mereka yang muslim?
UNHCR
merilis hampir tidak ada pengungsi korban perang Syiria, Afganistan dan Iraq
yang tinggal di Kuwait, Qatar, Uni Arab Emirat dan Arab Saudi. Tapi bisakah
kita memverifikasi ini? Belakangan beredar kabar bahwa negara negara islam dan
kaya itu telah memberikan donasi yang besar untuk membantu para pengungsi. Tapi
bisakah kita memverifikasi ini? Yang jelas, banjir pengungsi tidak sedang
terjadi hari ini saja, ia telah terjadi berbulan lalu ketika kita sedang
berdebat apakah ISIS itu islam atau bukan.
Pengungsi-pengungsi
dari Syiria, Afganistan dan Iraq ini sempat tinggal di Turki. Dari Turki mereka
lantas melanjutkan perjalanan menggunakan perahu menuju eropa. Kenapa tidak
tinggal di Turki? Bukankah Erdogan dipuji sebagai seorang kalifah yang
memuliakan islam? 1.8 Juta pengungsi yang tinggal tentu bukan angka yang
sedikit, ia besar, dan pemerintahan manapun saya kira akan kesulitan jika mesti
memberi makan setiap pengungsi yang ada. Ini bukan soal kilafah, ini
sesederhana pilihan masuk akal.
Apakah
Turki hebat karena menampung 1.8 juta pengungsi? Mari kita buat perbandingan
Ilmfeed merilis data bahwa pengungsi perang yang ada di Turki sebesar 1.8 juta
jiwa, sementara Lebanon sebesar 1.2 Juta Jiwa dan Jordan 628 ribuan orang. Luas
negara Lebanon barangkali tidak sampai sepersepuluh luas Turki, Lebanon itu
juga bukanlah negara kaya tidak seperti
Turki yang belakangan banyak dipuja puji pendukung Erdogan di Indonesia. Sedang
Jordan? Mereka adalah veteran penampung pengungsian, jumlah warga Palestina di
Negara ini jauh lebih banyak daripada warga Palestina di negara asalnya. Tapi
tentu ini tidak penting, yang penting adalah bagaimana menyelamatkan mereka
yang sedang menderita bukan?
Sri Paus
bertitah. Bahwa setiap gereja, setiap biara dan setiap umat katolik yang mampu,
untuk mengambil dan membantu satu keluarga pengungsi. Ia juga membuka pintu
vatikan kepada para pengungsi. Sri Paus tidak bertitah bahwa mereka hanya akan
membantu keluarga katolik saja, siapapun, jika ia pengungsi mesti dibantu.
Kebaikan ini seharusnya menampar akal sehat kita.
Lantas
posisi kita di mana? Oh barangkali posisi kita di sini, berdiri dan
menghembuskan kabar, terjadi kristenisasi. Karena, bukankah hanya itu yang bisa
kita lakukan?