Saya percaya bahwa penulis punya tanggung jawab etis untuk menyampaikan kebenaran dalam setiap karya yang ia bikin. Tanggung jawab etis itu semestinya disadari bukan sebagai sebuah monolog. Bahwa ketika seseorang menulis ia lepas tanggung jawab atas apa yang ia tuliskan. Ada perdebatan filosofis mengenai ini antara Roland Barthes dan Michel Foucault. Tapi saya tak akan memuat apa perdebatan tersebut, karena saya meyakini kapasitas intelektual pembaca cukup cerdas untuk bisa mencarinya sendiri melalui Google.
Agak malas sebenarnya untuk melanjutkan polemik perihal Responsible (Travel) Writer yang saya tulis beberapa waktu lalu. Pertama karena saya kira sudah cukup memberikan argumen, tautan berita dan data yang valid (bukan sekedar copy paste), kedua karena saya pikir isu ini sudah terlampau sering dibahas. Tapi rupanya ada yang luput dipahami dari tulisan saya tersebut. Saya sendiri tak tahu harus bagaimana lagi membumikan konsep yang sebenarnya sangat sederhana perihal etika menulis. Barangkali benar kata Wittgenstein, bahasa terlalu primitif dan terbatas untuk bisa memberikan pemaknaan yang utuh pada satu hal.
Tapi ada yang menarik. Beberapa sanggahan yang ditujukan kepada saya mengatakan bahwa saya pukul rata pada semua travel writer/blogger. Seandainya mereka sempat membaca pelan dan seksama, sebenarnya secara tersirat saya masih menyimpan harapan. Bahwa masih ada orang orang yang konsisten untuk melahirkan turisme yang sehat, travel writer yang bertanggung jawab dan kalangan yang masih peduli. Atau barangkali mereka yang tersentil, adalah orang-orang yang justru selama ini menyuburkan kegilaan yang saya khawatirkan.
Sebab kegagalan transfer wacana yang saya tuliskan dalam tulisan terdahulu barangkali sudah habis dibahas oleh Nuran Wibisono dalam artikelnya. Namun ada titik tolak yang gagal dilalui dan dibaca ketika mereka mencerna tulisan saya tersebut. Bahwa ada tiga komponen utama kritik yang coba saya sampaikan. Pertama adalah perlu adanya etika menulis yang harusnya diadopsi secara universal (tidak terbatas pada blogger atau jurnalis saja), Kedua adalah kesadaran untuk memikirkan lebih panjang manfaat dan mudharat atas suatu artikel juga foto pada satu destinasi wisata, yang ketiga adalah pentingnya riset bagi seorang travel writer.
Saya tak akan membahas dua poin awal, karena sudah jelas saya sampaikan sebelumnya. Namun mengapa riset itu penting? Bagi seorang penulis kemampuan bertutur dan menjalin kalimat bukan faktor utama. Namun memberikan sebuah informasi yang seutuh dan sebaik mungkin adalah hal yang paling penting dilakukan. Apakah ini wajib? Tentu tidak. Artikel semacam Ganja di Pulau Weh misalnya perlu dilihat pada lokus yang lebih luas. Jika artikel ini ditulis oleh orang Aceh sendiri barangkali bisa menjadi sumbu investigasi. Tapi jika ia ditulis orang luar Aceh, apalagi Jawa, relasi perih perang saudara akibat DOM bukan tak mungkin akan terbuka lagi.
Masyarakat dan Pelancong
Sayang dalam tulisannya Nuran kurang melakukan riset dan seolah mengambil jarak. Bahwa ia hanya sekedar menulis. Perkara apa yang terjadi akibat tulisannya ia tak ambil pusing. Perihal tidak akan pernah berhenti melancong adalah haknya. Tapi jika akibat tulisannya itu bisa melahirkan kerusakan apa ia pernah pikir? Manusia bersumbu pendek macam inilah yang bisa jadi penyebab kerusakan yang saya khawatirkan.
Soal Ibnu Battuta oh come on. Dia tak pernah menuliskan. Ia menceritakan ulang kisah petualangannya dalam Rihla pada Ibn Juzayy. Dia bahkan tak membawa catatan. Marco Polo dan Columbus? Seriously? Dua pioner traveler dalam melahirkan peradaban berdarah bernama kolonialisme? Well, itu menjelaskan logika Nuran yang mengatakan bahwa lokasi eksotis perlu dibuka agar masyarakatnya bisa mendapatkan berkah atas industri turisme. Setiap perilaku melahirkan konsekuensi logis yang seringkali tak berakhir baik.
Dalam perdebatan mengenai industrialisasi ketika ditemukannya sebuah destinasi wisata. Masyarakat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Mereka hanya bidak yang sekedar menyediakan apa yang diinginkan oleh pelancong. Telah banyak kehidupan suku terasing yang kemudian terpapar kehidupan modern menjadi terasing pada hidupnya sendiri. Terpaksa meninggalkan gaya hidupnya karena dianggap usang dan akhirnya kehilangan identitas sebagai masyarakat.
Pernyataan bahwa "Orang lokal senang pelancong datang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi," adalah logika sesat khas kolonialis. Orang asing yang datang ke suatu masyarakat dan menilai bahwa masyarakat tersebut lebih rendah dan perlu dibantu dan diperadabkan. Memaksakan logika kemakmuran sempit pada akhirnya akan merubah perilaku sebuah masyarakat. Jika hal ini diteruskan bukan tak mungkin ada nilai-nilai yang terkoyak karena menghamba pada kapital.
Apakah suku anak dalam menjadi kurang berbudaya hanya karena ia memilih tak hidup di kota dan menikmati pendidikan? Tidak. Apakah suku mentawai menjadi barbar hanya karena mereka lebih memilih hidup berburu dan berladang? Tidak. Kemapanan ekonomi, juga uang, bukan satu-satunya tolak ukur kemapanan dan kemakmuran. Siapa anda merasa berhak melabeli bahwa dengan pariwisata dan masuknya uang masyarakat ini akan lebih makmur?
Seorang kawan pernah bercerita bagaimana bangsawan Sumba tengah malam ditelpon untuk mempersiapkan sebuah ritus penyambutan. Hanya karena akan ada orang yang datang dan penasaran pada suatu adat yang hanya ada di daerah itu. Si bangsawan tadi merasa resah karena kebudayaan yang semestinya adiluhung harus dipaksakan ada untuk memuaskan rasa penasaran seseorang.
Melahirkan sustainable tourism adalah mimpi siang bolong ketika konten suatu promosi melulu menghamba pada industri. Berapa banyak traveler yang diundang datang oleh stake holder untuk menuliskan daerahnya secara jujur apa adanya? Hampir nihil. Mereka semua datang untuk pulang dan menuliskan puja-puji keberhasilan, keindahan, enaknya makanan dan segala macam ewuh pakewuh yang banal itu.
Ketika kalian menuliskan sebuah destinasi yang bukan rumah tinggal kalian ada sebuah tanggung jawab yang mesti dipahami. Kalian tak tinggal selamanya di sana. Ketika kalian pergi warga setempat akan tetap tinggal. Menuliskan secara asal-asalan apalagi sekedar ritus hanya untuk mendapatkan popularitas adalah keji. Ini bukan masalah kita adalah peneliti ekonomi atau bukan. Ini masalah kemanusiaan yang perlu dipikirkan benar-benar.
Same Shit Different Days
Farchan Noor Rachman di sisi lain dengan bernas merontokan segala argumen saya bahwa travel writer adalah penyebab paling utama dalam eksploitasi destinasi wisata. Setidaknya ada empat hal yang coba Farchan sampaikan. Pertama minimnya edukasi pada travel writer perihal tanggung jawab etis dalam menulis, kedua minimnya institusi yang mengawasi kinerja para travel writer tadi, ketiga sinergi positif antara pelancong, masyarakat dan pemerintah dalam mewujudkan turisme berkelanjutan. Dan yang terakhir adalah Farhan masih percaya ada harapan, bahwa travel writer menjadi agen perubahan untuk kemakmuran masyarakat pada sebuah destinasi wisata.
Saya tak pernah bilang kita tak boleh melancong atau menuliskan sebuah destinasi. Sebuah cagar alam misalnya, boleh dimasuki atas nama pengetahuan. Tapi juga perlu disadari fungsi cagar alam selain bank plasma nutfah, ia juga memiliki peraturan ada beberapa area tertentu yang tak boleh dimasuki. Manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu dan seringkali bertindak bodoh ketika penasaran. Di sini posisi penting seorang travel writer bisa masuk. Mengingatkan batas-batas kapan harus gila-gilaan dan kapan harus memakai otak.
Suku-suku di kepulauan Mentawai juga memerlukan publisitas yang bisa dimanfaatkan para pelancong dan travel writer. Mereka yang didesak zaman, para shaman yang kehabisan penerus dan perusakan alam yang kian gila-gilaan perlu dikabarkan. Di sini pelancong bisa ambil bagian sebagai voluntary community services secara tidak sadar. Ketika satu lokasi yang selama ini dirusak lantas mendapatkan perhatian besar entah media atau pelancong. Bukan tak mungkin perbaikan akan terjadi. Tentu tidak dengan logika memberi uang mereka senang bukan?
Saya tak pernah bilang kita tak boleh melancong atau menuliskan sebuah destinasi. Sebuah cagar alam misalnya, boleh dimasuki atas nama pengetahuan. Tapi juga perlu disadari fungsi cagar alam selain bank plasma nutfah, ia juga memiliki peraturan ada beberapa area tertentu yang tak boleh dimasuki. Manusia adalah mahluk yang selalu ingin tahu dan seringkali bertindak bodoh ketika penasaran. Di sini posisi penting seorang travel writer bisa masuk. Mengingatkan batas-batas kapan harus gila-gilaan dan kapan harus memakai otak.
Suku-suku di kepulauan Mentawai juga memerlukan publisitas yang bisa dimanfaatkan para pelancong dan travel writer. Mereka yang didesak zaman, para shaman yang kehabisan penerus dan perusakan alam yang kian gila-gilaan perlu dikabarkan. Di sini pelancong bisa ambil bagian sebagai voluntary community services secara tidak sadar. Ketika satu lokasi yang selama ini dirusak lantas mendapatkan perhatian besar entah media atau pelancong. Bukan tak mungkin perbaikan akan terjadi. Tentu tidak dengan logika memberi uang mereka senang bukan?
Ketika melancong adalah sebuah keseharian dan bukan lagi proses untuk mencari jati diri maka yang tersisa dari manusia adalah kedegilan. Setidaknya hanya manusia-manusia keras kepala, yang merasa bahwa segala tindak-tanduk yang mereka lakukan tidak akan melahirkan relasi sebab akibat. Kenaifan semacam ini barangkali lahir karena minimnya usaha untuk mengerti (empati) dan matinya nalar (debil). Tapi prasangka semacam ini bisa jadi luput apabila ada kesadaran bahwa nurani adalah rem yang paling pakem untuk mengatur tindakan manusia.
Apakah ini berlebihan? Mungkin. Sekedar perbandingan ilustrasi saja. Genosida atas bangsa Yahudi yang dilakukan Nazi pun awalnya lahir dari poster anti semit di Polandia yang kebetulan dibaca oleh Hitler. Pengaruh sebuah kata-kata begitu hebat sehingga ia bisa membentuk peradaban. Seorang Travel Writer senior dengan gegabah baru baru ini menulis "tak ada hubungan antara travel writer dan perusakan alam, kecuali jika memang ia menyuruh demikian,". Secara langsung memang tak ada hubungan. Toh Hitler juga tak pernah bilang "Bantai Yahudi" secara gamblang dalam Mein Kampf.
Saya akan berikan sebuah ilustrasi sederhana perihal analogi praksis bagaimana etika semestinya dijalankan. Bayangkan anda seorang warga Tibet, mengalami represi militer sekian puluh tahun. Segala hal mulai dari pendidikan, sosial budaya bahkan keyakinan mengalami sensor. Lantas orang asing datang. Mereka terpesona eksotisme dari berbagai artikel yang mengatakan bahwa Tibet adalah negara magis. Negara awang-awang, seperti juga Nepal, adalah lokasi dimana Shangri La berada.
Setiap hari anda melayani orang lain. Pelancong yang dengan kamera merekam dan mengabadikan so called eksotisme tadi. Tanpa menyadari bahwa telah terjadi penindasan. Bahwa Negara Otonom Tibet hanyalah topeng yang dipakaikan tiran untuk menipu. Lantas anda, sebagai warga negara itu, membaca bahwa ada orang-orang yang dengan bangga memamerkan segala tempik sorak eksotisme keindahan Tibet. Tanpa sedikitpun bercerita tentang bagaiman realitas sosial yang ada disana. Ah saya lupa. Saya tak pernah ke Tibet. Buat apa juga peduli tentang cerita mereka?
Sebenarnya akan jadi sia-sia jika kemudian saya memberikan pledoi atas tulisan saya tersebut, seperti yang saat ini saya lakukan. Toh juga tak akan membuat perubahan langsung instan terjadi. Tapi pernahkah kita membayangkan apa yang terjadi setelah kita pergi? Sebuah pertanyaan usang yang membosankan. Akan tetap ada orang yang menulis dengan tak bertanggung jawab. Dan akan ada orang yang berkata bahwa untuk berpikir logis dan manusiawi harus menulis buku dulu. Orang yang menganggap kritik hanya sekedar rasa iri.
Tapi ketika mereka, para pelancong dan travel writer, itu pulang dan menikmati rumah yang nyaman. Para penduduk lokal di sebuah destinasi wisata akan berjuang untuk hidup seperti hari-hari yang lain. Menunggu untuk Hidden Paradise mereka akan habis. Entah karena rusak atau membosankan. Saat itu terjadi, ada satu telunjuk yang boleh kita arahkan dihadapan cermin.
wah panjang ini bahasannya. Pakcik, yang sampeyan tuliskan semuanya negatif, seolah tidak ada manfaat sama sekali dan mengemban dosa sosial yang besar ketika orang melakukan perjalanan lalu menuliskannya di blog, apalagi ketika berhadapan dengan diksi 'eksotis' dari sudut pandang orang kota. padahal saya tau sebenarnya tidak.
BalasHapusnah, saya mau belajar, saya bukan penulis, apalagi kritikus,jadi bagaimana yang menurut mas Dhani ini sebuah travel writing yang baik dan ideal dari semua aspek yang dikritik. siapa travel writer yang oke, dan bisa dibaca dimana tulisannya?
Asu. Asu banget.
BalasHapusSampeyan nggak boleh jadi pekerja kantoran, atau sejenis itu, minimal sampai ide dan kegelisahan sampeyan telah dikeluarkan tuntas mas.
Bagi saya, tulisanmu harusnya ditujukan pada negara. Mempertanyakan ulang fungsi negara, - Keberadaan negara. Titik paling krusial adalah otoritas politis.
BalasHapusAda pengebirian berlebihan pada travel writer. Aura kritis yang hendak kau tebar tenggelam dalam kejahatan sudut pandang.
Oh. Iya. Kamis malam, jadi pembahas diskusi puisi yoh. :)
Well yang namanya traveling atau menulis itu sangat personal sih, pasti ada banyak perbedaan di segala sisi. Memang background saya bukan penulis, tapi, nulis karena ingin berbagi. Jadi kalau ada yang baca ya monggo, kalau endak ya ndak papa, yang penting niatnya baik :) CMIIW
BalasHapusMas, saya pengen ke Pulogadung dari Pulau Buton, naek sampan bisa ya katanya?
BalasHapus